Thursday 18 April 2013

Why I had to resign

8 working days until my resignation. . .

Setiap perempuan masa kini pasti tidak gampang memutuskan untuk resign dari full time job-nya demi mengurus rumah tangga. Apalagi dalam kasus gw, nyokap kerja full time udah 30tahunan lebih dan bisa dibilang beliau sendiri yg membiayai gw dan adik gw dr SMA sampai pada S2. (Don’t ask about what my late dad did) Dan suami pun mendukung 100% gw untuk bekerja supaya bisa mengaplikasikan ilmu yg gw dapat. Tapi jujur, I did not enjoy it that much. Entah karena memang bidangnya tidak sesuai passion, lingkungan kerja yg tidak mendukung gw berkembang, atau apapun itu. 

Yang jelas gw resah. Call me naïve, tapi gw resah karena gw ga bisa mendidik Raka dan spend time with him the way I want to. Gw resah karena gw juga gak bisa total melayani suami dari hal kecil masakin buat dia, bahkan nyiapin baju kantornya dia, karena malam gw capek pulang kerja (gets worse after 2nd pregnancy, pulang kantor justru suami yg mijitin istri atau ngambilin makan atau minum kalau lagi tepar istrinya), pagi2 pas dia siap2, gw masih tidur karena malam2 buta gw pasti lagi begadang nemenin Raka, jd gw harus tidur lagi abis Subuh kalau nggak gw lemes di kantor. Terus kapan dong gw bisa jadi istri sholehah yg ngurus keluarga?

Dari dulu emang gw gak berambisi punya karir cemerlang sih. Yg kebayang di pikiran gw, jujur, cuma bisa kuliah sampe S3. Tapi gw gak kebayang mau kerja jadi apa. Tapi gw haqqul yaqin bahwa niat gw adalah membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah, barakah. Makanya gw bersyukur banget Allah mempertemukan gw sama Akang, yang kalau diliat, kita bagai langit dan bumi, dan saking bedanya kita it seems impossible that we were destined to meet at all. Dari pergaulan aja udah beda, umur juga beda jauh, ya paling suku aja kali ya yang mirip.. tapi namanya takdir Allah. 

Allah baik banget sama gw menjodohkan gw dengan suami gw yg ternyata everything that I’ve been looking for. Gw gak pernah niat nyari suami ganteng, kaya, dll. Jaman galau dulu sambil nangis2 di sajadah gw cuma minta Allah kasih gw jodoh yg bisa mendekatkan diri gw kepadaNya. Yg sevisi sama gw dalam tujuan pernikahan, yaitu in the end, meraih surgaNya. As simple as that. Jadi, gak perlu waktu lama sebelum akhirnya Akang dulu menanyakan ke gw tujuan pernikahan itu apa, dan ternyata sejalan dengan dia. So, 2 bulan saja cukup untuk dia akhirnya menyatakan akan meminang gw dari pertama kali berjumpa dengan gw.  (ehm, although, we did feel that chemistry the first time we saw each other, padahal waktu itu belum kenal sama sekali!). Meskipun dalam prakteknya, 6 bulan kemudian baru resmi khitbah atau dilamar dan 6 bulan lagi akhirnya menikah (jadi dulu gwnya gak diijinin kawin sebelum lulus S2, pas lulus, gak bisa buru2 karena jadwal Akang yg masih kuliah di negeri kangguru sono).

Jadi sekarang, gw punya suami baik hati dan bertanggungjawab. Gw kadang merasa I did not do enough for him in return. Sebagai istri, I could have done more. Ya yang namanya istri pastinya harus berbakti pada suami dong. He’s done his part as good husband and father.. and what have I done as his wife and mother to his kids?

So then I resigned from my full time job. Hari ini, seperti diingatkan lagi kenapa gw harus resign. Awalnya baca postingan di blog langganan punya Indah, trus tiba2 lagi stalking FB temen melalui akun suami, nemu cerita ini. Dan semalam, Akang ngasih tahu kalau salah satu temen kita ada yang cerai. Kata Akang, mungkin karena si istri kurang ngurusin suaminya, karena yg kita lihat dia emang kebanyakan ‘gaul’, main mulu sama temen2nya, suami dan anak2 ditelantarkan. Kenapa Akang berpikiran gitu? Karena Akang guru ngaji anak2nya. Mereka susah banget belajar ngajinya karena gak pernah diajarin di rumahnya. Dan Akang mempertanyakan, si ibunya ini gak kerja, trus kerjanya di rumah ngapain aja kalau anak2nya gak diajarin ngaji dan akhlak yang baik? Padahal keluarga itu aktif di TPA dan kegiatan2 sosial lainnya. Jadi Akang pesan sama gw, Raka harus gw yg ngajarin ngaji nanti. Oiya, beberapa hari sebelumnya juga, gw cerita ke Akang kalau ada ibu2 yg datengin gw ke kantor mau daftarin anaknya sekolah di luar negeri. Dia tanya2 macem2, karena tujuannya biar anaknya dapet pendidikan, lingkungan dan pekerjaan yg bagus nantinya. Kenapa? Karena, dia bilang, suaminya udah berapa kali wanti2 ke dia “Pokoknya anak2 tanggungjawab kamu! Kalau mereka kenapa2 sekolahnya atau pergaulannya, saya salahin kamu!” dan Akang bilang, "Si bapak gak salah ngomong kayak gitu. Yang namanya ibu memang kurang lebih tanggungjawab sama anak2nya apalagi kalau dia nggak kerja, berarti waktunya harus lebih didedikasikan buat mendidik anak2nya dengan baik."

Jadi for now, I’m really not interested in any full time job. Justru gw lagi nyari kesempatan untuk kuliah lagi, karena sebenarnya dari dulu itu yang gw pengen. Apalagi dengan ada anak2, gw juga bisa ngajak mereka keluar negeri dan kasih mereka kesempatan hidup di negara, atau kota, yang lebih child-friendly (face it, Jakarta is NOT child-friendly: pollution, traffic that keeps parents away from children for longer times, education system that’s costly but not necessarily good quality, etc etc). 

Kalau masalah gw kehilangan penghasilan, ya masih berpendapat tiap anak ada rejekinya. Selama ini Akang did a great job keeping the family together in terms of finance, gaji gw jarang dipake buat kebutuhan keluarga tapii gak banyak juga yang bisa ditabung or diinvestasikan karena habis di ongkos dan pengeluaran pribadi that comes with the job. Jadi I'm not too worried with the consequences of single income. Masalah gw tidak punya ruang mengaktualisasi diri – apalagi dengan embel2 gelar Master dari LN – well, I never felt this job gave me that ‘room’ anyway. Maybe in another job. Or maybe, aktualisasi diri gw justru saat gw berkutat dengan proposal riset or actually doing the research itself. Artinya, mungkin passion gw ada di kerjaan lain yang bisa bikin gw merasa bisa mengaktualisasi diri. Jadi, resigning from this position gak membuat gw kehilangan kesempatan aktualisasi diri, karena selama ini gak merasa gitu anyway.

What a long and emotional post. Airmata udah di ujung pelupuk pas nulis tentang Akang (feeling guilty here). Semoga setelah gw resign, dikasih kesempatan jadi istri dan ibu yang lebih baik. My husband never asks for anything, never complains to me, even though I never gave him much. It’s time I do what I’m supposed to do, my full time job is being wife to Akang and mother to Raka and Rai. That's all that matters.

1 comment:

  1. Hello Mbak... I enjoyed reading your post a lot. It's a week before my resignation, yippie. Bedanya saya masih 4 bulan hamil. Banyak yang mengira kalo saya resign karena kehamilan.. padahal not really sih. Saya lebih ingin mencari pahala dengan mengabdi untuk keluarga (read: suami dan anak2 kelak) Dan saya setuju banget kalo Jakarta is not really friendly for children. Dan bagi saya, juga untuk kita semua. Saya merasa gak worth it ngeluarin ongkos pulang pergi naik taksi di kala metromini penuh sampai ke pintu. Mending uang itu ditabung untuk keperluan lain.

    ReplyDelete