Friday 12 September 2014

In memoriam Mamam Labib

Kemarin dapat berita mengejutkan, teman saya meninggal setelah melahirkan anak keduanya. Anak pertamanya seumuran Raka, lebih muda 3 minggu saja. Almarhumah mengalami robek rahim setelah melahirkan dan pendarahan, kemudian rahimnya diangkat dan meninggal seusai operasi pengangkatan rahim. Almarhumah meninggal 2 orang putra, yang satu baru berusia 1 hari.

Kaget, syok ga percaya kalo Mamam Labib sudah dipanggil sama Allah. Belum sempet playdate pun sama Labib, cuma liat2 fotonya aja di socmed. Ga kebayang dia ditinggal mamamnya, soalnya mereka deket banget. Karena papapnya Labib tinggal di Jakarta, jadi sehari2 Labib diasuh mamanya aja. Kemana2 berdua, bahkan klo kontrol hamil pun temen saya ini ditemenin sama anaknya aja nyetir berdua. Mirip saya sama Raka deh, cuma saya mana berani dan dibolehin nyetir berdua pas lagi hamil.

Kaget, syok karena kepikiran sayapun hampir mendapatkan resiko yg sama. Resiko rahim robek. Beruntung punya obgyn yg tegas dan gak pelit kasih informasi. Beliau konon dulu sering menangani kasus2 seperti itu, jadi beliau make sure saya diedukasi dan diwanti2 supaya ga kejadian seperti itu. Alhamdulillah 2 kali melahirkan dengan kondisi yang cukup gawat darurat, sayanya selamat. Anehnya sih setiap mau melahirkan kok ya gak kepikiran bakal ada resiko sewaktu2 ya I couldn't make it out of the operating room.. Huhu.. untung juga yaa gak kepikiran biar gak galau.. Soalnya 2 kali melahirkan mau masuk OR yg ada seneng-excited-nervous mau ketemu bayi, gak kepikiran sama diri sendiri sama sekali sih. Yg penting bayi keluar dan sehat.

Maka dari itulah, saya bela2in nih ya menembus macet, menembus hutan (iyee kampus gw di hutan beneran bo) demi bisa melakukan suatu penelitian yg mungkin bisa berkontribusi untuk membuat perempuan lebih aware sama kesehatan mereka dan anak2nya.. biar saat hamil mereka dapet informasi yg lebih akurat, tau segala resiko yg dihadapi, supaya gak kejadian kayak Budokter tau2 masuk RS udah parah karena belum teredukasi secara tepat sebelumnya.

I am not looking for a degree. This study is not for my own satisfaction, or even economic reasons. I just want to empower women and create a healthy Indonesia. Doakan ya..

Mamam Labib, I surely miss you.. I feel the loss your loved ones feel. But thank you for being in my life and inspiring me. May Allah pardon all your sins, make you a syahidah and your passing khusnul khotimah. I trust you're lying in a vast, vast space down there and smiling at us from up there.
This entry was posted in

Why I do my PhD

Whenever I have second thoughts and face obstacles in doing my oh-so-challenging doctoral study, I will always come to these 2 essays. They were written as a requirement for applying the scholarship I've been awarded (Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP).


SUKSES TERBESAR DALAM HIDUPKU

Jika ditanya apakah sukses terbesar dalam hidup seseorang, jawabannya tentu beragam. Setiap orang akan memiliki jawaban yang berbeda, bahkan orang yang sama akan menjawab beda jika ditanya pada waktu yang berbeda. Contohnya, saya sendiri. Jika ditanya pertanyaan “Apakah sukses terbesar dalam hidupmu?” tiga tahun yang lalu, saya akan menjawab “Sukses terbesar saya adalah meraih gelar Master dari salah satu universitas berperingkat baik di dunia.” Dan jika ditanya pertanyaan yang sama sekarang, jawaban saya: “Sukses terbesar saya adalah berhasil menjadi ibu. Berhasil menjadi Ibu yang baik bagi anak-anak saya.”


Ya, kedua jawaban tersebut sangat jauh berbeda. Semakin tumbuh dan dewasa, justru sukses yang kita raih semakin sederhana. Tidak perlu meraih gelar pendidikan, memperoleh jabatan tinggi atau penghasilan mapan, buat saya sebagai perempuan, istri dan utamanya ibu, berhasil membesarkan anak saya menjadi anak yang sehat, pintar dan berakhlak baik menjadi sukses terbesar dalam hidup saya.


Dewasa ini, membesarkan anak bukanlah perkara yang simpel. Tantangannya berbeda dari jaman orangtua kita dulu. Hal utama yang paling terasa perbedaannya adalah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menguntungkan kita mendapatkan informasi, di sisi lain bisa menjerumuskan kita dan keluarga kita ke sisi negatif.


Buat saya pribadi, kemajuan teknologi telah membuat saya menjadi orangtua yang lebih ‘pintar’ sehingga bisa memberikan yang terbaik untuk anak saya. Dari Internet dan khususnya jejaring media sosial, saya mendapatkan pengetahuan yang berharga mengenai pengasuhan anak, khususnya berkaitan dengan kesehatannya. 


Tetapi, mengapa sebenarnya saya menganggap berhasil menjadi ibu sebagai sukses terbesar saya? Karena menjadi ibu adalah sebuah privilege atau suatu hak yang istimewa bagi perempuan. Buat saya, perjuangan saya menjadi ibu tidaklah mudah. Saya hampir menjadi salah satu dari statistik 228 per 100000. Apakah 228 per 100000 itu? Angka tersebut adalah angka kematian ibu di Indonesia tahun 2007 (UNDP Indonesia, 2011). Dari sekian banyak kematian yang terjadi, paling banyak dikarenakan pendarahan saat melahirkan, dan penyebab kematian terbanyak kedua adalah eklampsia atau komplikasi kehamilan (BPS, BAPPENAS dan Kemkes, 2012). 


Saat melahirkan anak saya, saya menderita preeklampsia sehingga harus dioperasi segera untuk menghindari eklampsia yang bisa berujung pada kematian. Saya beruntung telah memperoleh edukasi sebelumnya tentang kondisi saya, salah satunya dengan menggunakan jejaring media sosial untuk memperoleh informasi yang faktual mengenai kondisi saya. Saya beruntung melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai dan dengan tenaga kesehatan yang tanggap sehingga kondisi saya langsung diatasi.


Tetapi tidak semua ibu di Indonesia seberuntung saya untuk memperoleh fasilitas tersebut. Tidak hanya fasilitas fisik yang mereka perlukan, tetapi fasilitas nonfisik seperti akses terhadap informasi, sebuah hal yang sekarang menjadi lebih mudah berkat hadirnya jejaring media sosial yang memungkinkan diseminasi informasi secara cepat dan massal.


Untuk itulah saya ingin mengetahui apakah banyak yang merasa seperti saya, dibantu dan ‘diselamatkan’ dengan hadirnya media sosial sehingga bisa memberikan yang terbaik untuk saya dan anak saya karena memiliki pengetahuan yang luas mengenai kesehatan ibu dan anak. Harapan saya, ibu-ibu yang belum ‘tercerahkan’ bisa ikut menjadi ‘lebih pintar’ seperti saya. Saya ingin meneliti seberapa besar pengaruh media sosial di Internet dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan anak di Indonesia. Tujuan saya pada akhirnya adalah masyarakat yang berdaya dan bebas, masyarakat Indonesia umumnya, dan perempuan Indonesia khususnya.


Mendidik perempuan berarti mendidik sebuah bangsa. Perempuan yang terpelajar atau berpendidikan akan menghasilkan generasi penerus yang berkualitas yang dapat meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Memberdayakan perempuan berarti memberdayakan bangsa. 

Saya adalah perempuan. Saya adalah ibu. Saya adalah pemuda yang memiliki semangat dan kecintaan begitu besar terhadap negara saya Indonesia. Saya percaya dengan status saya tersebut, sebagai perempuan, sebagai ibu, dan sebagai pemuda dan kaum terpelajar, saya memiliki potensi yang besar untuk bisa mengemban peran yang penting bagi Indonesia.
Sedari kecil, yang saya ingat adalah saya bercita-cita untuk dapat bekerja untuk bangsa. Ya, saya tidak bercita-cita besar menjadi pengusaha atau profesi apapun yang menghasilkan uang banyak untuk saya sendiri menjadi sejahtera. Cita-cita saya adalah mengabdi pada masyarakat, mengabdi pada bangsa Indonesia untuk mensejahterakan sesama saudara-saudara saya sebangsa dan se-Tanah Air. Saya ingin sekali merasakan bahwa saya telah membuat kontribusi nyata dalam pembangunan bangsa ini. Dengan itu, rasanya salah satu tujuan hidup saya terpenuhi.
Itulah mengapa meskipun saya berkuliah di jurusan Kimia ITB saat S1 dulu, niat saya saat penelitian Tugas Akhir adalah penelitian saya harus aplikatif dan berguna bagi orang banyak. Maka saya memilih judul penelitian “Pembuatan Minyak Kelapa Murni Menggunakan Ekstrak Nanas”. Sebuah judul yang sangat sederhana untuk mahasiswa Sarjana Kimia dari ITB. Tetapi justru dalam kesederhanaan itulah saya bisa berbuat sesuatu untuk orang banyak. Harapannya hasil penelitian saya bisa digunakan oleh khalayak luas dan tidak hanya terbatas berputar dan didiskusikan di lingkungan akademik semata. 
Setelah lulus S1 pun, saya menolak tawaran kerja di perusahaan swasta, dengan anggapan bahwa saya akan terlalu sibuk bekerja untuk saya dan perusahaan, sehingga tidak punya waktu atau bahkan melupakan cita-cita saya untuk membangun masyarakat. Saat kuliah, saya sudah melakukan upaya-upaya tersebut dengan mendirikan sebuah Taman Bacaan Masyarakat untuk meningkatkan minat baca di lingkungan sekitar tempat saya tinggal. Saya pun rutin menggalang dana atau tenaga, bahkan sebagian besar menggunakan uang, waktu dan kendaraan sendiri, untuk berkeliling kota membagikan makanan dan berbagi cerita dengan orang-orang di jalanan seperti tukang becak, pemulung, tukang sampah, dan sebagainya.
Inspirasi saya untuk terus mengabdi pada masyarakat datang ketika saya kembali kuliah lagi untuk S2 tetapi kali ini di bidang yang sangat berbeda, namun ternyata adalah bidang yang sangat saya nikmati dan merupakan passion saya. Saya mengambil S2 di bidang Komunikasi Pembangunan di University of Queensland, Australia. Disini saya belajar teori dan praktek mengenai bagaimana cara membangun masyarakat yang efektif dan menghasilkan masyarakat yang terbebaskan dan berdaya. Kuliah saya dan dosen saya disana begitu menginspirasi saya, sehingga waktu 1.5 tahun yang saya habiskan belajar Komunikasi Pembangunan untuk meraih gelar Master saya terasa tidak cukup bagi saya untuk bisa mendapatkan ilmu dan kesempatan lebih untuk berperan nyata dalam pembangunan bangsa.
Peran saya bagi Indonesia adalah sebagai agen perubahan, sebagai penggerak untuk bangsa agar maju dan berdaya. Saya bisa mewujudkan itu lebih baik apabila saya terpilih sebagai penerima beasiswa LPDP ini. Penelitian yang akan saya jalani dengan bantuan beasiswa LPDP terkait langsung dengan pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan dan anak-anak, dua aset terbesar suatu bangsa yang justru sering dinomorduakan. Saat selesai studi, saya akan langsung kembali ke Indonesia untuk mengabdi di perguruan tinggi menjadi tenaga pengajar, dengan harapan bisa menginspirasi anak-anak muda khususnya perempuan untuk bisa berkarya dan menghasilkan sesuatu yang nyata seperti yang telah saya lakukan.
 

Thursday 4 September 2014

Jadi Mahasiswi Lagi

Alhamdulillah, setelah perjalanan panjang yang dimulai pada Januari 2013 (huwoww.. ampir 2 tahun yaa) akhirnya ditakdirkan untuk jadi mahasiswa doktoral di IPB.

Kemaren kuliah perdana, err, lebih tepatnya kayak perwalian sih. Berjibaku dari Jakarta ke kampus Darmaga, muter2 nyari gedungnya dan nyari parkir, trus muter2 nyari ruangan sampe nyasar dan beneran muter 360 derajat alias balik lagi ke tempat semula hahaha ajaib memang gedung kuliah di IPB ituh.. Akhirnya bisa kenalan sama dosen dan temen2 seangkatan walopun baru stengahnya. Ehh karena paling muda pake ditumbalin jd ketua angkatan pula.

Mari kita ikuti perjalanan meraih status mahasiswa S3 ini:
Januari 2013: Ikut tes IELTS karena rencananya mau apply ke UQ lagi.
Apri 2013: Iseng2 disuruh daftar beasiswa LPDP.. ndilalah lolos
Juni 2013: Wawancara beasiswa LPDP.. apa karena gak ada pressure jd nyantai, dan lolos juga ternyata
November 2013: Ikut Program Kepemimpinan LPDP, ninggalin bayi 40 hari, fresh baru abis nifas dan selama program sibuk dengan pemerahan ASI haha hamdalah lancar dan lulus PK juga
Desember 2013-Januari 2014: Galau mau apply ke UQ apa pindah universitas dalam negeri aja.. Akhirnya setelah diskusi sama nyokap dan Akang tentunya, dengan pertimbangan anak2 masih kecil dan Akang yg susah untuk cuti diluar tanggungan dan keinginan saya untuk tidak memisah2kan keluarga (misal saya sekolah sendiri/dengan anak tapi suami gak ikut), diputuskan untuk pindah universitas
Februari 2014: Bolak-balik Jakarta-Bandung ngurus ijazah hilang dan penerbitan transkrip.
April 2014: Deadliners bangeett.. Setelah ngurus permohonan prindah universitas ke LPDP dan disetujui, mulai apply ke IPB. Kenapa gak U* yg lbh deket? Karena disana kuota dikit, konon mahal, susah masuk dan susah keluar, dan males juga ah kuliahnya di Salemba *boseen liat macetnya Jakarta* *ketulah jd kejebak macetnya Bogor dah* Lumayan ngabisin duit buat legalisir notaris ijazah dan transkrip yg dr UQ
Juli 2014: Pengumuman IPB. Gak loloooss hahahahaha streeesss bangeet.. Udah mau nyerah ajalah.. Biarin di rumah aja sama anak2.. Bapaknya yg protes, anak2 dijadiin excuse buat kecemenan gw. Makasih Akang, tanpa support dari Akang udah males mau lanjutin. Padahal klo akal sehat berbicara ya tinggal diurus aja beres kok *maklum lagi PMS perdana stelah ngelahirin wkwkw*
Agustus 2014: Alhamdulillah ada sodara yg dosen IPB di fakultas yg sama menelusuri aplikasi gw, didapatlah salahnya dimana dll.. Intinya ternyata bisa dikomunikasikan dan ujung2nya bakal diterima katanyaa.
Buat jaga2 apply lagi deh yg gelombang kedua, berjibaku lagi ke Bandung buat legalisir surat keterangan pengganti ijazah (karena dulu mintanya dikit) naik kereta pagi2, pulangnya ujan2an naik motor dari Jatinegara sama Akang :')
Email2an sama dosen di UQ buat minta rekomendasi lagi Alhamdulillah langsung dibalas (dan terharu dikasih suntikan semangat sama beliau sambil bersedih2 bersama karena ga bisa jadi student disana hiks)
Gak berapa lama eh keluar pengumuman lulus, dikirimin surat cinta dari IPB.
Akhir bulan perdana ke Darmaga buat verifikasi. Pas verifikasi gw rada terharu gitu di bagian pembayaran, cuma ngasih surat dari LPDP gw dilolosin gak harus bayar sepeserpun.. padahal total jendral belasan juta rupiah yang harus dibayar. Hamdalah.. fabi ayyi aalaa i rabbikuma tukadzdzibaan..
September 2014: Pas ultah Akang subuh2 ke Darmaga nyetir sendirian, kejebak macet yg uwoww sekalii.. 4km ditempuh dalam 1.5jam cuyy..
Dua hari kemudian di ultah sendiri nyetir lagi ke Darmaga lagi buat perwalian, kejebak macet didalam kampus karena ada wisudaan, pulangnya juga macet dan berujung harus berhenti di pom bensin karena gak kuat (malemnya gak tidur soalnya, Rayi lagi sakit rewel n nenen mulu maunya) dan kejebak macetnya Jakarta juga hmmpphhff..

Sekarang lagi menjajaki kemungkinan pindah ke Bogor nih.. Gak kuat sayah bolakbalik gitu.. nyetir aja udah capek apalagi naik umum. Soalnya gw bukan orang yg bisa santai or bahkan bobo cantik di mobil or angkot gitu. Jadi pasti sama2 capek di jalan. Nyetir aja udah 2 jam apalagi ngangkot kan. Gila ya udah kayak Jakarta-Bandung itu. Apalagi namapun busui, klo ngangkot gembolannya banyak kan rempong cyinnn.. selain bawa buku2 kuliah (eciyeee gayaa), laptop dll, bawa peralatan perang busui aka breastpump dllnya. Klo di Bogor palingan Akang yg kejauhan, tapi banyak juga sih temen2nya yg rumahnya di Bogor. Kan bisa carpooling, atau naik APTB, atau kereta kan kan.. Kata temen kuliah (ciyee ada temen kuliah sekarang) yg sesama emak2 "Ya klo laki gpp lah berjibaku gitu, dia kan gak kepikiran rumah. Kalo ibu yg capek kasian anaknya, apalagi klo masih nyusuin Mbak, nanti bisa drop ASInya.." Cuss bungkuss.. pindah Bogor yuk Kang!

Masalah di Bogor mau ngontrak apa beli rumah kotak sabun sekalian (ih dapet loh daerah IPB seratus jutaan..mayan klo udah ga dipake bisa dikontrakin), masalah anak2 nanti sama siapa ato dititip di daycare (hiks mbak idola kita semua ga bisa dibawa) entar dulu dah.. too excited at the prospect of finally moving houses and standing on our own two feet ;)
This entry was posted in