Friday, 12 September 2014

Why I do my PhD

Whenever I have second thoughts and face obstacles in doing my oh-so-challenging doctoral study, I will always come to these 2 essays. They were written as a requirement for applying the scholarship I've been awarded (Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP).


SUKSES TERBESAR DALAM HIDUPKU

Jika ditanya apakah sukses terbesar dalam hidup seseorang, jawabannya tentu beragam. Setiap orang akan memiliki jawaban yang berbeda, bahkan orang yang sama akan menjawab beda jika ditanya pada waktu yang berbeda. Contohnya, saya sendiri. Jika ditanya pertanyaan “Apakah sukses terbesar dalam hidupmu?” tiga tahun yang lalu, saya akan menjawab “Sukses terbesar saya adalah meraih gelar Master dari salah satu universitas berperingkat baik di dunia.” Dan jika ditanya pertanyaan yang sama sekarang, jawaban saya: “Sukses terbesar saya adalah berhasil menjadi ibu. Berhasil menjadi Ibu yang baik bagi anak-anak saya.”


Ya, kedua jawaban tersebut sangat jauh berbeda. Semakin tumbuh dan dewasa, justru sukses yang kita raih semakin sederhana. Tidak perlu meraih gelar pendidikan, memperoleh jabatan tinggi atau penghasilan mapan, buat saya sebagai perempuan, istri dan utamanya ibu, berhasil membesarkan anak saya menjadi anak yang sehat, pintar dan berakhlak baik menjadi sukses terbesar dalam hidup saya.


Dewasa ini, membesarkan anak bukanlah perkara yang simpel. Tantangannya berbeda dari jaman orangtua kita dulu. Hal utama yang paling terasa perbedaannya adalah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menguntungkan kita mendapatkan informasi, di sisi lain bisa menjerumuskan kita dan keluarga kita ke sisi negatif.


Buat saya pribadi, kemajuan teknologi telah membuat saya menjadi orangtua yang lebih ‘pintar’ sehingga bisa memberikan yang terbaik untuk anak saya. Dari Internet dan khususnya jejaring media sosial, saya mendapatkan pengetahuan yang berharga mengenai pengasuhan anak, khususnya berkaitan dengan kesehatannya. 


Tetapi, mengapa sebenarnya saya menganggap berhasil menjadi ibu sebagai sukses terbesar saya? Karena menjadi ibu adalah sebuah privilege atau suatu hak yang istimewa bagi perempuan. Buat saya, perjuangan saya menjadi ibu tidaklah mudah. Saya hampir menjadi salah satu dari statistik 228 per 100000. Apakah 228 per 100000 itu? Angka tersebut adalah angka kematian ibu di Indonesia tahun 2007 (UNDP Indonesia, 2011). Dari sekian banyak kematian yang terjadi, paling banyak dikarenakan pendarahan saat melahirkan, dan penyebab kematian terbanyak kedua adalah eklampsia atau komplikasi kehamilan (BPS, BAPPENAS dan Kemkes, 2012). 


Saat melahirkan anak saya, saya menderita preeklampsia sehingga harus dioperasi segera untuk menghindari eklampsia yang bisa berujung pada kematian. Saya beruntung telah memperoleh edukasi sebelumnya tentang kondisi saya, salah satunya dengan menggunakan jejaring media sosial untuk memperoleh informasi yang faktual mengenai kondisi saya. Saya beruntung melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai dan dengan tenaga kesehatan yang tanggap sehingga kondisi saya langsung diatasi.


Tetapi tidak semua ibu di Indonesia seberuntung saya untuk memperoleh fasilitas tersebut. Tidak hanya fasilitas fisik yang mereka perlukan, tetapi fasilitas nonfisik seperti akses terhadap informasi, sebuah hal yang sekarang menjadi lebih mudah berkat hadirnya jejaring media sosial yang memungkinkan diseminasi informasi secara cepat dan massal.


Untuk itulah saya ingin mengetahui apakah banyak yang merasa seperti saya, dibantu dan ‘diselamatkan’ dengan hadirnya media sosial sehingga bisa memberikan yang terbaik untuk saya dan anak saya karena memiliki pengetahuan yang luas mengenai kesehatan ibu dan anak. Harapan saya, ibu-ibu yang belum ‘tercerahkan’ bisa ikut menjadi ‘lebih pintar’ seperti saya. Saya ingin meneliti seberapa besar pengaruh media sosial di Internet dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan anak di Indonesia. Tujuan saya pada akhirnya adalah masyarakat yang berdaya dan bebas, masyarakat Indonesia umumnya, dan perempuan Indonesia khususnya.


Mendidik perempuan berarti mendidik sebuah bangsa. Perempuan yang terpelajar atau berpendidikan akan menghasilkan generasi penerus yang berkualitas yang dapat meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Memberdayakan perempuan berarti memberdayakan bangsa. 

Saya adalah perempuan. Saya adalah ibu. Saya adalah pemuda yang memiliki semangat dan kecintaan begitu besar terhadap negara saya Indonesia. Saya percaya dengan status saya tersebut, sebagai perempuan, sebagai ibu, dan sebagai pemuda dan kaum terpelajar, saya memiliki potensi yang besar untuk bisa mengemban peran yang penting bagi Indonesia.
Sedari kecil, yang saya ingat adalah saya bercita-cita untuk dapat bekerja untuk bangsa. Ya, saya tidak bercita-cita besar menjadi pengusaha atau profesi apapun yang menghasilkan uang banyak untuk saya sendiri menjadi sejahtera. Cita-cita saya adalah mengabdi pada masyarakat, mengabdi pada bangsa Indonesia untuk mensejahterakan sesama saudara-saudara saya sebangsa dan se-Tanah Air. Saya ingin sekali merasakan bahwa saya telah membuat kontribusi nyata dalam pembangunan bangsa ini. Dengan itu, rasanya salah satu tujuan hidup saya terpenuhi.
Itulah mengapa meskipun saya berkuliah di jurusan Kimia ITB saat S1 dulu, niat saya saat penelitian Tugas Akhir adalah penelitian saya harus aplikatif dan berguna bagi orang banyak. Maka saya memilih judul penelitian “Pembuatan Minyak Kelapa Murni Menggunakan Ekstrak Nanas”. Sebuah judul yang sangat sederhana untuk mahasiswa Sarjana Kimia dari ITB. Tetapi justru dalam kesederhanaan itulah saya bisa berbuat sesuatu untuk orang banyak. Harapannya hasil penelitian saya bisa digunakan oleh khalayak luas dan tidak hanya terbatas berputar dan didiskusikan di lingkungan akademik semata. 
Setelah lulus S1 pun, saya menolak tawaran kerja di perusahaan swasta, dengan anggapan bahwa saya akan terlalu sibuk bekerja untuk saya dan perusahaan, sehingga tidak punya waktu atau bahkan melupakan cita-cita saya untuk membangun masyarakat. Saat kuliah, saya sudah melakukan upaya-upaya tersebut dengan mendirikan sebuah Taman Bacaan Masyarakat untuk meningkatkan minat baca di lingkungan sekitar tempat saya tinggal. Saya pun rutin menggalang dana atau tenaga, bahkan sebagian besar menggunakan uang, waktu dan kendaraan sendiri, untuk berkeliling kota membagikan makanan dan berbagi cerita dengan orang-orang di jalanan seperti tukang becak, pemulung, tukang sampah, dan sebagainya.
Inspirasi saya untuk terus mengabdi pada masyarakat datang ketika saya kembali kuliah lagi untuk S2 tetapi kali ini di bidang yang sangat berbeda, namun ternyata adalah bidang yang sangat saya nikmati dan merupakan passion saya. Saya mengambil S2 di bidang Komunikasi Pembangunan di University of Queensland, Australia. Disini saya belajar teori dan praktek mengenai bagaimana cara membangun masyarakat yang efektif dan menghasilkan masyarakat yang terbebaskan dan berdaya. Kuliah saya dan dosen saya disana begitu menginspirasi saya, sehingga waktu 1.5 tahun yang saya habiskan belajar Komunikasi Pembangunan untuk meraih gelar Master saya terasa tidak cukup bagi saya untuk bisa mendapatkan ilmu dan kesempatan lebih untuk berperan nyata dalam pembangunan bangsa.
Peran saya bagi Indonesia adalah sebagai agen perubahan, sebagai penggerak untuk bangsa agar maju dan berdaya. Saya bisa mewujudkan itu lebih baik apabila saya terpilih sebagai penerima beasiswa LPDP ini. Penelitian yang akan saya jalani dengan bantuan beasiswa LPDP terkait langsung dengan pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan dan anak-anak, dua aset terbesar suatu bangsa yang justru sering dinomorduakan. Saat selesai studi, saya akan langsung kembali ke Indonesia untuk mengabdi di perguruan tinggi menjadi tenaga pengajar, dengan harapan bisa menginspirasi anak-anak muda khususnya perempuan untuk bisa berkarya dan menghasilkan sesuatu yang nyata seperti yang telah saya lakukan.
 

0 comments:

Post a Comment