SUKSES TERBESAR DALAM HIDUPKU
Jika ditanya apakah sukses terbesar dalam
hidup seseorang, jawabannya tentu beragam. Setiap orang akan memiliki jawaban
yang berbeda, bahkan orang yang sama akan menjawab beda
jika ditanya pada waktu yang berbeda. Contohnya, saya sendiri. Jika ditanya
pertanyaan “Apakah sukses terbesar dalam hidupmu?” tiga tahun yang lalu, saya
akan menjawab “Sukses terbesar saya adalah meraih gelar Master dari salah satu
universitas berperingkat baik di dunia.” Dan jika ditanya pertanyaan yang sama
sekarang, jawaban saya: “Sukses terbesar saya adalah berhasil menjadi ibu.
Berhasil menjadi Ibu yang baik bagi anak-anak saya.”
Ya, kedua jawaban tersebut sangat jauh
berbeda. Semakin tumbuh dan dewasa, justru sukses yang kita raih semakin
sederhana. Tidak perlu meraih gelar pendidikan, memperoleh jabatan tinggi atau
penghasilan mapan, buat saya sebagai perempuan, istri dan utamanya ibu,
berhasil membesarkan anak saya menjadi anak yang sehat, pintar dan berakhlak
baik menjadi sukses terbesar dalam hidup saya.
Dewasa ini, membesarkan anak bukanlah
perkara yang simpel. Tantangannya berbeda dari jaman orangtua kita dulu. Hal
utama yang paling terasa perbedaannya adalah kemajuan teknologi. Kemajuan
teknologi yang berkembang begitu pesat bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi
bisa menguntungkan kita mendapatkan informasi, di sisi lain bisa menjerumuskan
kita dan keluarga kita ke sisi negatif.
Buat saya pribadi, kemajuan teknologi telah
membuat saya menjadi orangtua yang lebih ‘pintar’ sehingga bisa memberikan yang
terbaik untuk anak saya. Dari Internet dan khususnya jejaring media sosial,
saya mendapatkan pengetahuan yang berharga mengenai pengasuhan anak, khususnya
berkaitan dengan kesehatannya.
Tetapi, mengapa sebenarnya saya menganggap
berhasil menjadi ibu sebagai sukses terbesar saya? Karena menjadi ibu adalah
sebuah privilege atau suatu hak yang
istimewa bagi perempuan. Buat saya, perjuangan saya menjadi ibu tidaklah mudah.
Saya hampir menjadi salah satu dari statistik 228 per 100000. Apakah 228 per
100000 itu? Angka tersebut adalah angka kematian ibu di Indonesia tahun 2007
(UNDP Indonesia, 2011). Dari sekian banyak kematian yang terjadi, paling banyak
dikarenakan pendarahan saat melahirkan, dan penyebab kematian terbanyak kedua
adalah eklampsia atau komplikasi kehamilan (BPS, BAPPENAS dan Kemkes, 2012).
Saat melahirkan anak saya, saya menderita
preeklampsia sehingga harus dioperasi segera untuk menghindari eklampsia yang
bisa berujung pada kematian. Saya beruntung telah memperoleh edukasi sebelumnya
tentang kondisi saya, salah satunya dengan menggunakan jejaring media sosial
untuk memperoleh informasi yang faktual mengenai kondisi saya. Saya beruntung
melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai dan dengan tenaga kesehatan yang
tanggap sehingga kondisi saya langsung diatasi.
Tetapi tidak semua ibu di Indonesia
seberuntung saya untuk memperoleh fasilitas tersebut. Tidak hanya fasilitas
fisik yang mereka perlukan, tetapi fasilitas nonfisik seperti akses terhadap
informasi, sebuah hal yang sekarang menjadi lebih mudah berkat hadirnya
jejaring media sosial yang memungkinkan diseminasi informasi secara cepat dan
massal.
Untuk itulah saya ingin mengetahui apakah
banyak yang merasa seperti saya, dibantu dan ‘diselamatkan’ dengan hadirnya
media sosial sehingga bisa memberikan yang terbaik untuk saya dan anak saya
karena memiliki pengetahuan yang luas mengenai kesehatan ibu dan anak. Harapan
saya, ibu-ibu yang belum ‘tercerahkan’ bisa ikut menjadi ‘lebih pintar’ seperti
saya. Saya ingin meneliti seberapa besar pengaruh media sosial di Internet
dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan anak di Indonesia. Tujuan saya
pada akhirnya adalah masyarakat yang berdaya dan bebas, masyarakat Indonesia
umumnya, dan perempuan Indonesia khususnya.
Mendidik
perempuan berarti mendidik sebuah bangsa. Perempuan yang terpelajar atau
berpendidikan akan menghasilkan generasi penerus yang berkualitas yang dapat
meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Memberdayakan perempuan berarti memberdayakan
bangsa.
Saya adalah perempuan. Saya adalah ibu. Saya adalah pemuda yang
memiliki semangat dan kecintaan begitu besar terhadap negara saya Indonesia.
Saya percaya dengan status saya tersebut, sebagai perempuan, sebagai ibu, dan
sebagai pemuda dan kaum terpelajar, saya memiliki potensi yang besar untuk bisa
mengemban peran yang penting bagi Indonesia.
Sedari kecil, yang saya ingat adalah saya bercita-cita untuk dapat
bekerja untuk bangsa. Ya, saya tidak bercita-cita besar menjadi pengusaha atau
profesi apapun yang menghasilkan uang banyak untuk saya sendiri menjadi
sejahtera. Cita-cita saya adalah mengabdi pada masyarakat, mengabdi pada bangsa
Indonesia untuk mensejahterakan sesama saudara-saudara saya sebangsa dan
se-Tanah Air. Saya ingin sekali merasakan bahwa saya telah membuat kontribusi
nyata dalam pembangunan bangsa ini. Dengan itu, rasanya salah satu tujuan hidup
saya terpenuhi.
Itulah mengapa meskipun saya berkuliah di jurusan Kimia ITB saat
S1 dulu, niat saya saat penelitian Tugas Akhir adalah penelitian saya harus
aplikatif dan berguna bagi orang banyak. Maka saya memilih judul penelitian
“Pembuatan Minyak Kelapa Murni Menggunakan Ekstrak Nanas”. Sebuah judul yang
sangat sederhana untuk mahasiswa Sarjana Kimia dari ITB. Tetapi justru dalam
kesederhanaan itulah saya bisa berbuat sesuatu untuk orang banyak. Harapannya
hasil penelitian saya bisa digunakan oleh khalayak luas dan tidak hanya
terbatas berputar dan didiskusikan di lingkungan akademik semata.
Setelah lulus S1 pun, saya menolak tawaran kerja di perusahaan
swasta, dengan anggapan bahwa saya akan terlalu sibuk bekerja untuk saya dan
perusahaan, sehingga tidak punya waktu atau bahkan melupakan cita-cita saya
untuk membangun masyarakat. Saat kuliah, saya sudah melakukan upaya-upaya tersebut
dengan mendirikan sebuah Taman Bacaan Masyarakat untuk meningkatkan minat baca
di lingkungan sekitar tempat saya tinggal. Saya pun rutin menggalang dana atau
tenaga, bahkan sebagian besar menggunakan uang, waktu dan kendaraan sendiri,
untuk berkeliling kota membagikan makanan dan berbagi cerita dengan orang-orang
di jalanan seperti tukang becak, pemulung, tukang sampah, dan sebagainya.
Inspirasi saya untuk terus mengabdi pada masyarakat datang ketika
saya kembali kuliah lagi untuk S2 tetapi kali ini di bidang yang sangat
berbeda, namun ternyata adalah bidang yang sangat saya nikmati dan merupakan passion saya. Saya mengambil S2 di
bidang Komunikasi Pembangunan di University of Queensland, Australia. Disini
saya belajar teori dan praktek mengenai bagaimana cara membangun masyarakat
yang efektif dan menghasilkan masyarakat yang terbebaskan dan berdaya. Kuliah
saya dan dosen saya disana begitu menginspirasi saya, sehingga waktu 1.5 tahun
yang saya habiskan belajar Komunikasi Pembangunan untuk meraih gelar Master
saya terasa tidak cukup bagi saya untuk bisa mendapatkan ilmu dan kesempatan
lebih untuk berperan nyata dalam pembangunan bangsa.
Peran saya bagi Indonesia adalah sebagai agen perubahan, sebagai
penggerak untuk bangsa agar maju dan berdaya. Saya bisa mewujudkan itu lebih
baik apabila saya terpilih sebagai penerima beasiswa LPDP ini. Penelitian yang
akan saya jalani dengan bantuan beasiswa LPDP terkait langsung dengan
pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan dan anak-anak, dua aset terbesar
suatu bangsa yang justru sering dinomorduakan. Saat selesai studi, saya akan
langsung kembali ke Indonesia untuk mengabdi di perguruan tinggi menjadi tenaga
pengajar, dengan harapan bisa menginspirasi anak-anak muda khususnya perempuan
untuk bisa berkarya dan menghasilkan sesuatu yang nyata seperti yang telah saya
lakukan.
0 comments:
Post a Comment